BAB I
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting, karena
matematika sebagai mata
pelajaran yang memungkinkan
untuk mengembangkan kemampuan
berpikir dan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Matematika adalah salah
satu bidang studi
yang ada pada
semua jenjang pendidikan, mulai
dari tingkat sekolah
dasar sampai dengan
perguruan tinggi. Bahkan matematika
diajarkan di taman
kanak-kanak secara informal. Belajar matematika
merupakan suatu syarat
untuk melanjutkan pendidikan kejenjang berikutnya. Dengan
belajar matematika kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif.
Matematika juga
merupakan pelajaran yang sangat
hierarkis, karena hampir setiap materi
yang diajarkan akan
menjadi prasyarat bagi
materi yang selanjutnya, sehingga jika
materi terdahulu tidak
dipahami, akan sulit
untuk memahami materi berikutnya.
Beragam kecepatan siswa
dalam memahami materi
atau konsep yang diajarkan oleh guru, misalnya sejumlah
siswa dapat memahami yang diajarkan oleh
guru setelah guru
menyampaikan materi tersebut,
sementara sejumlah siswa yang
lainnya baru memahami
materi setelah satu
minggu, satu bulan,
bahkan mungkin saja sampai keluar sekolahpun tidak memahaminya.
Salah satu
upaya yang perlu dilakukan
untuk mengatasi masalah
itu adalah guru
sebagai pengajar harus mengembangkan pengajaran dalam proses
pembelajaran. Dengan kata lain
tugas seorang guru harus mampu mengkomunikasikan dan
menginformasikan materi pelajaran
kepada siswa dengan
metode yang bervariasi agar
suasana belajar mengajar tidak monoton dan siswa juga tidak cepat merasa bosan.
Selain itu, guru juga harus mampu membangkitkan minat belajar bagi
peserta didiknya, terutama
mereka yang kurang
menguasai terhadap pelajaran tertentu. Untuk mengatasi
masalah tersebut, salah
satu alternatif dari sekian
banyak pendekatan yaitu
Pendekatan Matematika Realistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
PMRI
PMRI
digagas oleh sekolompok pendidik matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah
mencari pengganti matematika
modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah
yang tidak menakutkan
siswa, jadi ramah
dan dapat menaikkan prestasi
matematika siswa di
dunia internasional. Di
samping itu, matematika pada
dasarnya bersifat demokratis,
jadi wajar bila
melalui matematika dapat ditanamkan
budaya demokratis pada
siswa. Pencarian yang
lama akhirnya menemukan jawabannya
lewat RME (Realistic Mathematics
Education) yang diterapkan dengan
sukses di Belanda sejak 1970-an dan juga
di beberapa negara lain, seperti di Amerika
Serikat (disebut,a.l.,
Mathematics in Context).
Menurut Fauzan (2002), salah satu
permasalahan terbesar dengan
matematika modern ialah menyajikan matematika sebagai produk
jadi, siap pakai,
abstrak dan diajarkan
secara mekanistik : guru mendiktekan rumus
dan prosedur ke
siswa.
Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang banyak
memberikan harapan bagi peningkatan hasil
pembelajaran matematika. Bahkan
harapan tersebut sudah
lebih jauh lagi yaitu RME diharapkan dapat dijadikan
sebagai alternatif pembelajaran matematika di
kita. Harapan-harapan tersebut
muncul antara lain
karena kekuatan-kekuatan
yang dimiliki PMR.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang dimaksud adalah PMR
memberikan pengertian yang
jelas dan operasional
kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan
sehari-hari, matematika dapat
dikontruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa, tidak diharuskan
setiap siswa menyelesaikan
soal-soal matematika dengan cara
yang sama dan
dengan hasil yang
sama pula, dalam mempelajari matematika proses
pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan proses itu
harus dijalani oleh
siswa, dan PMR
memadukan berbagai pendekatan pembelajaran lain
yang dianggap unggul
seperti pemecahan masalah, konstruktivisme, dan
pendekatan pembelajaran yang
berbasis lingkungan.
“Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia”
merupakan bentuk pembelajaran
yang menggunakan dunia nyata
dan kegiatan pembelajaran
yang lebih menekankan
aktivitas siswa untuk mencari,
menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan
yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada
siswa.
Penekanan
ide matematika merupakan salah satu
aktivitas manusia. Aktivitas
yang dimaksud adalah
mencari dan menyelesaikan
masalah, serta mengorganisir
materi. Materi tersebut dari masalah yang
nyata diorganisir secara
matematis dan juga ide-ide
matematika baik yang
baru ataupun lama baik
dari individu maupun
lainnya, setelah diorganisir menurut
ide terbaru yang
mudah dipahami dalam konteks yang lebih luas.
B.
Karakteristik
PMRI
Pada Seminar
Nasional tentang Pendidikan
Matematika Realistik, aspek-aspek PMR secara garis besarnya tertuang
dalam lima karakteristik RME. Secara ringkas menurut Zulkardi (2002)
kelima
karakteristik dimaksud adalah
:
1.
Menggunakan masalah kontekstual.
Masalah kontekstual sebagai
aplikasi dan sebagai titik tolak
dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul.
2. Menggunakan
model atau jembatan
dengan instrumen vertikal.
Perhatian diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi
daripada mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.
3.
Menggunakan kontribusi siswa.
Kontribusi yang besar
pada proses pembelajaran
diharapkan datang dari murid sendiri yang mengarahkan mereka dari cara-cara
informal kearah yang lebih formal atau standar.
4.
Terjadinya interaktivitas dalam proses pembelajaran. Negosiasi secara
eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah
faktor penting dalam proses pembelajaran
secara konstruktif dengan
menggunakan strategi informal
murid sebagai jantung untuk mencapai yang formal.
5.
Menggunakan berbagai teori
belajar yang relevan,
saling terkait, dan terintegarasi dengan
topik pembelajaran lainnya.
Pendekatan holistik, menunjukkan
bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan
dan keterintegrasian harus
dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Di samping
lima karakterisitik di atas,
menurut Bron (1998) RME mempunyai tiga
pilar, yaitu:
(1)
Berpandangan kepada materi matematika dan tujuannya;
(2)
Berorientasi kepada bagaimana anak belajar
matematika; dan
(3)
Berorientasi kepada bagaimana matematika diajarkan.
C.
Prinsip-prinsip
PMRI
Menurut Suwarsono (2001), PMRI
mempunyai tiga prinsip kunci, yaitu:
1. Guided Reinvention (menemukan
kembali) / Progressive Mathematizing (matematisasi progresif)
Peserta
didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana
konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai dengan suatu
masalah kontekstual atau
realistik yang selanjutnya
melalui aktifitas siswa diharapkan
menemukan “kembali” sifat,
definisi, teorema atau prosedur-prosedur. Masalah
kontekstual dipilih yang mempunyai berbagai kemungkinan
solusi. Perbedaan penyelesaian atau prosedur peserta didik
dalam memecahkan masalah
dapat digunakan sebagai langkah proses
pematematikaan baik horisontal
maupun vertikal. Pada prinsip
ini siswa diberikan
kesempatan untuk menunjukkan
kemampuan berpikir
kreatifnya untuk memecahkan
masalah, sehingga menghasilkan jawaban maupun
cara atau strategi
yang berbeda (divergen) dan
“baru” secara fasih dan fleksibel.
2. Didactical Phenomenology
(fenomena didaktik)
Situasi-situasi
yang diberikan dalam suatu topik matematika disajikan atas dua pertimbangan,
yaitu melihat kemungkinan
aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam
proses pematematikaan. Tujuan penyelidikan fenomena-fenomena tersebut
adalah untuk menemukan
situasi-situasi masalah khusus yang dapat digeneralisasikan dan dapat
digunakan sebagai dasar
pematematikaan vertikal. Pada
prinsip ini memberikan
kesempatan bagi siswa untuk
menggunakan penalaran (reasoning) dan
kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi konsep matematika.
3. Self-developed Models
(pengembangan model sendiri)
Kegiatan ini
berperan sebagai jembatan
antara pengetahuan informal
dan matematika formal. Model
dibuat siswa sendiri
dalam memecahkan masalah. Model
pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan siswa.
Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut akhirnya
menjadi suatu model
sesuai penalaran matematika.
Prinsip ini memberikan kontribusi untuk pengembangan
kepribadian siswa yang yakin, percaya diri, dan berani mempertahankan pendapat
(bertanggung jawab) terhadap
model yang dibuat sendiri
serta menerima kesepakatan atau kebenaran
dari pendapat teman lain. Prinsip ini juga mendorong
kreativitas siswa untuk membuat model
sendiri dalam memecahkan masalah.
Menurut
Zulkardi (2002), ada empat prinsip penilaian dalam PMRI yang beberapa di
antaranya merupakan komponen penilaian yang diisyaratkan dalam KTSP yaitu :
1.
Tujuan utama tes adalah meningkatkan proses belajar mengajar atau pembelajaran
yang sedang berlangsung.
2.
Metode penilaian harus memungkinkan siswa mendemonstrasikan apa yang mereka
mampu daripada apa yang mereka tidak tahu (tes positif). Tugas atau soal-soal
harus mengoperasionalkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sebanyak
mungkin.
3. Tidak semata-mata hanya hasil atau produk
berupa jawaban akhir.
4.
Harus praktis, mudah didapat, tidakmahal, dan sesuai dengan situasi lingkungan
sekolah.
D.
Langkah-langkah
PMRI
Menurut Zulkardi (2002), Secara umum
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus
benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin
akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
2. Pembukaan
Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi
pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata.
Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka
sendiri.
3. Proses
pembelajaran
Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan
masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun
secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi
tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati
jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk
mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat
lebih umum.
4. Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang
strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari
pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal
evaluasi dalam bentuk matematika formal.
E.
Kaitan
PMRI untuk Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa
Penggunaan masalah
nyata (context problem) sangat
signifikan dalam PMRI. Berbeda
dengan pembelajaran tradisional,
yang menggunakan pendekatan mekanistik, yang
memuat masalah-masalah matematika
secara formal (“naked problems”). Sedangkan
jika menggunakan masalah
nyata, dalam pendekatan
mekanistik, sering digunakan
sebagai penyimpulan dari
proses belajar. Fungsi masalah nyata hanya sebagai materi
aplikasi (penerapan) pemecahan masalah nyata dan menerapkan apa yang telah
dipelajari sebelumnyadalam situasi yang terbatas.
Dalam PMRI,
masalah nyata berfungsi
sebagai sumber dari
proses belajar masalah nyata
dan situasi nyata,
keduanya digunakan untuk menunjukkan
dan menerapkan konsep-konsep matematika. Ketika siswa mengerjakan
masalah-masalah nyata mereka dapat
mengembangkan
ide-ide/konsep-konsep
matematika dan pemahamanya. Pertama,
mereka mengembangkan strategi yang
mengarah (dekat) dengan konteks.
Kemudian aspek-aspek dari
situasi nyata tersebut
dapat menjadi lebih umum.,
artinya model atau strategi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah
lain. Bahkan model tersebut memberikan akses siswa menuju pengetahuan
matematika yang formal. Untuk menjembatani antara tingkat informal dan formal
tersebut, model/strategi harus ditingkatkan dari “model of” menjadi “model for”.
Perbedaan lain dari PMRI dan pendekatan tradisional adalah pendekatan
tradisional menfokuskan pada bagian kecil
materi, dan siswa
diberikan prosedur yang
tetap untuk menyelesaikan
latihan dan sering individual. Pada PMRI, pembelajaran lebih luas (kompleks)
dan konsep-konsepnya bermakna. Siswa
diperlakukan sebagai partisipan
yang aktif dalam pembelajaran, sehingga dapat
mengembangkan ide-ide matematika.
BAB III
PENUTUP
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)
adalah adaptasi dari RME dalam Konteks Indonesia: Budaya, Alam, Sistem Sosial,
dll. PMRI bukan suatu proyek tetapi suatu gerakan. PMRI mengembangkan suatu teori pembelajaran
matematika yang santun, terbuka dan komunikatif. RME adalah teori pembelajaran matematika yang
dikembangkan di Belanda sejak sekitar 35- 40 tahun yang lalu sampai sekarang.
RME singkatan dari Realistic Mathematics Education. RME diadaptasisi di banyak negara: AS, Afrika
Selatan, Beberapa Negara Eropa, Asia dan Amerika Latin.
Penerapan Matematika Realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika.
Keterkaitan penerapan pendekatan ini yang berkesinambungan, sangat mendukung
siswa untuk melatih kemampuan berpikir secara nyata dengan memperhatikan media
yang digunakan dan tersedia di sekolah. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar
matematika siswa pada pembelajaran matematika, terlebih dulu siswa harus
benar-benar memahami tentang apa yang diketahui, apa yang ditanya, bagaimana
penyelesaian dan bagaimana membuat kesimpulan akhir dalam menyelesaikan soal.
Daftar Pustaka
Bron. 1998.
Realistic mathematics education
work in progress.
Web-site : Freudenthal Institute. Tersedia: http//www.ft.uu.nl.,Juni
1998.
Fauzan, A. 2002.
Applying Realistic Mathematics Education
in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Doctoral dissertation.
Enschede: University of Twente.
Impelmentasi Pendidikan
Matematika Realistik di
Indonesia. Makalah
disampaikan pada Seminar
Nasional tentang Pendidikan
Matematika Realistik tanggal 14-15 November 2001.Yogyakarta: Tidak
Diterbitkan.
Suwarsono, St.
2001. Beberapa Permasalahan
yang Terkait dengan
Upaya PMRI. Jakarta : Tidak Diterbitkan.
Sungguh memberikan sumbangan inspirasi
BalasHapussemoga tambah bermanfaat bagi pembelajaran matematika di Indonesia
Semoga share2 dari saudara semua bisa menjadikan Ilmu bermanfaat dan merupakan ibadah Jariyah
BalasHapusAAMIIN
HapusSANGAT MEMBANTU
BalasHapus